Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah ditanya mengenai ziarah kubur yang disyariatkan. Beliau rahimahullah menjawab: Perlu diketahui bahwa ziarah kubur ada dua bentuk: ziarah kubur yang disyariatkan dan ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam.
Ziarah Kubur yang Disyariatkan
Contoh dari ziarah kubur yang disyariatkan adalah mendoakan si mayit, sebagaimana dibolehkan juga melaksanakan shalat jenazah untuknya. Dasar dari hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menziarahi kubur Baqi’ dan kubur pada syuhada’ Uhud. Kemudian beliau mengajari para sahabatnya, jika mereka menziarahi kubur hendaklah membaca do’a: “Semoga keselamatan bagi kalian wahai negeri (peristirahatan sementara) kaum mukminin, dan kami insya Allah akan bertemu kalian. Semoga Allah merahmati kalian yang lebih dahulu dari kami dan kami pun akan menyusul kalian. Kami memohon pada Allah keselamatan pada kami dan kalian. Ya Allah, janganlah halangi ganjaran bagi mereka. Janganlah beri siksaan kepada mereka setelah itu. Ampunilah dosa-dosa kami dan mereka.”
Demikian pula setiap do’a orang mukmin untuk para nabi dan selainnya, sebagaimana kita temukan dalam pensyariatan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam hadits yang shahih, “Jika kalian mendengar muadzin (orang yang mengumandangkan adzan), maka katakanlah semisal yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah padaku karena barangsiapa yang bershalawat padaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allah untukku karena wasilah adalah suatu derajat di surga yang hanya diberikan pada hamba-hamba Allah. Aku berharap termasuk hamba yang mendapatkan wasilah tersebut. Barangsiapa yang meminta pada Allah wasilah untukku, maka ia pantas mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat nanti. Setiap muslim yang mengucapkan salam untukku, Allah akan kembalikan ruhku padaku sampai aku balas salam tersebut.”
Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Islam
Ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam adalah ziarah kubur yang dilakukan oleh pelaku syirik yang sejenis ziarah kubur yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani. Mereka memaksudkan do’a pada mayit dan beristi’anah (meminta tolong) melalui mayit yang ada di dalam kubur. Berbagai hajat diminta melalui perantaraan penghuni kubur. Mereka pun shalat di sisi kubur dan berdoa melalui perantaraan si mayit. Perbuatan semacam ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh ulama masa silam dan para imam besar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menutup jalan agar tidak memasuki pintu syirik dengan melakukan semacam ini. Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di saat sakit menjelang kematiannya, “Sungguh Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid (layaknya tempat ibadah). Dia telah memperingatkan apa yang mereka perbuat.” Aiyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Seandainya bukan karena sabda beliau ini, tentu kubur beliau akan ditampakkan di luar rumah. Sungguh dilarang jika ada yang menjadikan kuburannya sebagai masjid.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lima hari sebelum kematiannya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan (para nabi dan orang-orang shalih dari mereka) sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai masjid, karena sungguh aku melarang kalian dari hal itu”.”
Dari sini, kita dapat melihat bahwa ziarah bentuk pertama yang disebutkan di awal termasuk jenis amalan yang dituntunkan dan bentuk ihsan (berbuat baik) terhadap sesama. Ziarah bentuk pertama tersebut dapat mensucikan hati sebagaimana yang Allah perintahkan (agar berziarah kubur untuk mengingat kematian). Sedangkan ziarah bentuk kedua termasuk bentuk syirik kepada Allah dan termasuk tindak kezholiman karena tidak menempatkan hak Allah dan hak hamba dengan benar. Dalam hadits yang shahih dikatakan, “Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat Allah menurunkan ayat (yang artinya): “Orang-orang beriman yaitu mereka yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezholiman” (QS. Al An’am: 82)”. Ketika mendengar ayat tersebut, para sahabat pun menjadi gelisah. Mereka pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lantas siapakah –wahai Rasul- yang tidak berbuat zholim pada dirinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya yang dimaksud zholim dalam ayat tersebut adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan seorang hamba yang sholih (yang artinya), “Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang paling besar?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, janganlah jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.”
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23)
Para ulama salaf mengatakan, “Berhala-berhala yang disebutkan dalam ayat tersebut dulunya adalah orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka mati, kaum Nuh beri’tikaf di kubur mereka dan membuat patung-patung yang menyerupai mereka. Inilah awal penyembahan berhala.”
Ziarah bentuk kedua ini sejenis dengan ibadahnya orang Nashrani. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhu dan para tabi’in. Mereka tidak pernah memanjatkan do’a di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ini pun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf lainnya. Bahkan para ulama besar melarang seseorang berdiam diri di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a di situ. Para ulama tersebut katakan bahwa amalan semacam ini sangat jauh dari tuntunan Islam. Para sahabat dan para tabi’in tidak pernah melakukan hal semacam ini. Yang mereka lakukan adalah mengucapkan salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghuni kubur lainnya, selepas itu mereka pun pergi.
Kalau kita dapat menyaksikan, Abdullah bin ‘Umar ketika memasuki masjid Nabawi, beliau mengucapkan, “Semoga keselamatan kepadamu wahai Rasulullah. Semoga keselamatan kepadamu wahai Abu Bakr. Semoga keselamatan kepadamu wahai ayahku (Umar bin Khottob).” Selepas itu, Ibnu ‘Umar lekas pergi (tanpa berdiam lama di sisi kubur). Imam Malik dan ulama besar lainnya memiliki perkataan tegas mengenai hal ini. Abu Yusuf dan ulama lainnya juga memiliki perkataan demikian. Mereka berkata bahwa tidak boleh bagi seorang pun meminta kepada Allah dengan menggunakan perantaraan seorang nabi, malaikat atau lainnya. Kaum muslimin (yaitu para sahabat) dahulu pernah tertimpa kemarau dan kekeringan. Namun mereka berdo’a memohon pada Allah agar diturunkan hujan. Mereka pun berdoa atas musuh-musuhnya dan meminta agar diberi pertolongan melalui do’a orang-orang sholih (yang masih hidup). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan diberi pertolongan dan diberi rizki berkat do’a orang-orang lemah di antara kalian, yaitu berkat do’a, shalat dan keikhlasan mereka.”
Namun lihatlah, mereka tidak pernah sama sekali memanjatkan do’a di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang sholih (yang sudah mati). Mereka pun tidak melaksanakan shalat di sisi kuburan dan tidak meminta hajat darinya. Mereka pun tidak bersumpah atas nama Allah melalui perantaraan orang yang sudah mati, semisal dengan mengatakan: “Aku meminta pada Allah dengan hak si fulan dan si fulan.” Semua ini sangat jauh dari tuntunan Islam.
Ingatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasi yang hidup saat aku diutus (yaitu para sahabat). Kemudian setelah itu adalah orang-orang setelah mereka.” Para ulama telah sepakat bahwa para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik generasi dari umat ini (itu berarti mereka yang pantas dijadikan teladan, pen). [Majmu’ Al Fatawa, 24/326-329]
Apa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid?
Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah menjelaskan, “Menjadikan suatu tempat sebagai masjid adalah menjadikan shalat lima waktu dan ibadah lainnya di tempat tersebut sebagaimana ibadah-ibadah tersebut diadakan di masjid. Jadi tempat yang dijadikan sebagai masjid adalah tempat yang dimaksudkan untuk beribadah pada Allah dan berdo’a kepada-Nya di situ, dan bukan khusus do’a tersebut ditujukan pada makhluk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal semacam ini yaitu menjadikan kubur mereka sebagai masjid dengan maksud melakukan shalat di sana sebagaimana ibadah yang dilakukan di masjid. Walaupun orang yang melakukan ibadah di kubur tersebut memaksudkannya sebagai ibadah kepada Allah semata. Ini tetap terlarang agar tidak sampai terjerumus dalam keharaman yang lebih parah. Kecuali jika memang orang tersebut menjadikan ibadah di sana ditujukan pada penghuni kubur, berdoa untuknya, menjadikannya sebagai perantara dalam berdoa dan berdoa di sisi kubur, (yang semacam ini jelas terlarangnya, pen). Intinya perbuatan menjadikan kuburan sebagai masjid (yaitu untuk beribadah kepada Allah semata) itu terlarang sebagaimana dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dilarang karena dapat mengantarkan pada syirik pada Allah. Perlu diingat bahwa setiap perbuatan yang bisa mengantarkan pada mafsadat (bahaya) dan tidak ada maslahat yang dominan, maka hal tersebut terlarang.” [Majmu’ Al Fatawa, 1/163]
Dalam kesempatan yang lain, beliau rahimahullah juga berkata, “Tidak ada silang pendapat di antara para ulama salaf dan ulama-ulama besar yang ada mengenai terlarangnya menjadikan kubur sebagai masjid. Seperti dimaklumi bersama bahwa masjid dibangun untuk shalat, dzikir, dan membaca al Qur’an. Jika kubur difungsikan untuk sebagian ibadah-ibadah tadi, maka ini termasuk dalam larangan menjadikan kubur sebagai masjid.” [Majmu’ Al Fatawa, 24/302]
Ulama lain menjelaskan bahwa ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah:
Pertama : Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang paling bisa dipahami dari perkataan ‘mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai masjid’ ialah, menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat melakukan shalat dan sujud di atasnya. Demikian ini jelas merupakan sarana yang sangat berbahaya, dan paling merusak yang mengantarkan kepada syirik dan berlaku ghuluw kepada kuburan.
Kedua : Shalat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid dalam bentuk ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan menjadikannya sebagai kiblatnya. Dengan kondisi ini, dia telah menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan menghinakan dirinya.
Ketiga : Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu adalah masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka mereka membuat bangunan di atasnya. Mereka lantas menjadikan di sekeliling kuburan itu sebagai masjid dan menjadikan tempat itu sebagai tempat beribadah dan shalat.
Akhir Kata
Dari penjelasan ini, silakan para pembaca bandingkan ziarah kubur yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin saat ini di kuburan para habib dan para wali. Apakah seperti itu termasuk disyariatkan atau malah termasuk menjadikan kubur sebagai masjid?
Semoga sajian yang singkat ini bisa jadi renungan bagi yang ingin meraih hidayah. Hanya Allah yang beri taufik.
Sumber: www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar