Selasa, 17 Mei 2011

Hadits Maudhu' (Ciri-Ciri Faktor Penyebab Periwayatan)


HADITS MAUDHU'
(Ciri-Ciri Faktor Penyebab Periwayatan) [1]
Oleh: Abd. Wahid Al-Faqier

Tugas Makalah Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Prof. DR. H. Utang Ranuwijaya, MA.

A.     Muqaddimah
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan dua sumber hukum Islam yang menjadi pedoman kita. Allah sendiri yang akan menjaga al-Qur’an dari pengubahan, penambahan atau pengurangan, walaupun hanya satu huruf atau satu harakat saja. Begitu pula dengan As-Sunnah (Al-Hadits) sebagai penjaga makna atau penjelas al-Qur’an juga akan terjaga. Maka tidak ada seorangpun di ujung dunia yang membuat-buat hadits dusta kecuali akan terkuak kepalsuannya.
Hadits terjaga dengan adanya sanad hadits. Dengan sanad itulah para ulama ahli hadits bisa membedakan manakah hadits shahih, hadits dha'if (lemah) dan hadits maudhu’ (palsu). Sanad adalah susunan orang-orang yang meriwayatkan hadits. Para periwayat tersebut diperiksa satu persatu secara ketat tentang riwayat hidupnya, apakah ia seorang jujur ataukah pendusta, hafalannya kuat ataukah lemah dan pemeriksaan ketat lainnya. Jika seluruh rawi dalam sanad hadits lulus pemeriksaan maka hadits tersebut berstatus shahih yang wajib kita jadikan pegangan hidup. Dan dengan demikian tersingkaplah hadits-hadits palsu bikinan para pendusta yang sengaja membuatnya untuk merusak agama Islam. Hanya orang-orang yang tidak mau belajar (baca jahil) saja yang akan tertipu.
Sebagaimana kita bersikap ilmiah dalam perkara-perkara dunia maka kita juga harus bersikap ilmiah dalam perkara agama. Jangan mengambil sebuah hukum atau syariat yang bersumber dari hadits lemah apalagi hadits palsu. Atau ikut-ikutan menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu tanpa menjelaskan status hadits itu. Bahkan ada yang dengan mudahnya mengatakan: “Hadits shahih!” padahal hadits tersebut palsu. Perbuatan seperti ini telah diancam dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang mulia,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
 “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.”[2]
Hadits ini statusnya shahih dan mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Betapa banyak hadits lemah dan palsu yang beredar di kalangan umat Islam karena tidak selektifnya dalam mendengar dan mengambil hadits, akibatnya adalah munculnya masalah dan penyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat, beribadah, berakhlak dan berakidah.

B.    Pengertian Hadits Maudhu' dan Awal Kemunculannya
Secara etimologi: maudhu berasal dari kata وضع yang mempunyai beberapa makna di antaranya الحط (merendahkan), الإسقاط (menjatuhkan), الإختلا ق (mengada-ngadakan), الالصاق (menyandarkan/menempelkan). Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena rendah dalam kedudukannya, jatuh; tidak bisa diambil dasar hukum, dan diada-adakan oleh perawinya.
Menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, dalam kitabnya Ushulul Hadits, yaitu :
هو ما نُسب الى الرسول صلى الله عليه وسلم اختلافا وكذبا مِمّـا لَم يقلْه او لَم يفعلْه او لَم يُقررْه
Muhammad Abu Rayyan dalam kitabnya Al-Adlwa 'ala Sunnah Muhammadiyah yang dikutip Drs Fatchur Rahman mendefinisikan hadits maudhu' sebagai berikut:
هو المختلَع المصنوع المنصوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلم زُورا وبُهتانا سواءٌ كان ذلك عمْدا ام خطأ
Yang dikatakan dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali seumur hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, biar mereka telah bertobat sekalipun. Berlainan halnya dengan periwayatan orang yang pernah bersaksi palsu, ia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh maka ia dapat diterima.
Adapun awal kemunculan hadits maudhu' ini dimulai sejak terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin yang ditandai dengan terbunuhnya Ustman bin Affan radhillahu 'anhu menjadi beberapa firqah (kelompok). Setiap firqah mencari dukungan dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Sebagian kelompok mentakwilkan Al-Qur'an  bukan pada makna sebenarnnya. Dan membawa As-Sunah bukan pada maksudnya. Bila mentakwilkan hadits mereka menisbatkan kepada Nabi. Terlebih lagi bila menyangkut keutamaan para imam mereka. Disinyalir bahwa kelompok yang pertama melakukan hal itu adalah kaum Syi'ah. Hal ini tidak pernah terjadi paada masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan tidak pernah dilakukan seorang shahabat pun. Apabila di antara mereka berselisih mereka berijtihad, dengan mengutamakan kebenaran.
C.    Tanda-Tanda untuk Mengetahui Hadits Palsu
Para ulama telah membuat tanda-tanda matan hadits maudhu' yang mudah ditengarai kepalsuannya khususnya bagi kita kaum awam yang tidak terlalu banyak menguasai ulumul hadits. Yaitu:
1.      Tanda/ciri yang terdapat pada sanad.
a.       Pengakuan dari si pembuat sendiri
Seorang guru tasawuf misalnya, meriwayatkan hadits-hadits tentang keutamaan ayat-ayat tertentu, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail [3]  tentang hadits-hadits yang dia riwayatkan itu ia berkata dengan terus terang:
لَم يُحدّثنى أحد ولكن رأينا الناس قد رغبوا عن القرأن فوضعنا هذا الحديث
"Tidak satupun yang meriwayatkan hadits kepadaku, akan tetapi serentak kami melihat manusia-manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini (keutamaan ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran".
Karena menjadi kewajiban kita sebagai kaum terpelajar untuk melacak hadits-hadits tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat Al-Qur'an dengan tetap berpedoman kepada para alim yang dianugerahi Allah pemahaman. Misalnya:
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ
"Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).
Imam Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya. Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits.” [4]
b.      Qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima hadits dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
c.       Adanya qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i  Al-Kufi dengan Amir Mukminin Al-Mahdi, ketika masuk ke ruangan  Amirul Mukminin dan menjumpai Al-Mahdi tengah bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فيِ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جُنَاحٍ
"Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap."  
Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan  untuk menyenangkan Al Mahdi, lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata:"Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian  Al-Mahdi menyuruh untuk menyembelih burung merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan ke-maudhu'-an hadits.
2.      Tanda/ciri yang terdapat pada matan.
Ciri yang terdapat pada matan itu dapat dtinjau dari segi makna dan dari segi lafadznya. Pertama, dari segi makna, misalnya hadits itu bertentangan dengan ayat Al-Quran atau dalil lain yang mutawatir. Seperti hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
Matan hadits ini bertentangan dengan kandungan firman Allah Subhanahuwata'alaa dalam surat Al-An'aam : 164,
  وَلاَ تَزِرُوْا وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya. Misal yang lain, seperti hadits yang menjelaskan tentang umur dunia yang bertentangan dengan kenyataan. Misalnya: [5]
مِقْدَارُ الدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةً وَنَحْنُ فىِ الأَلَفِ السَّابِعَةِ 
Hadits ini sangat dusta. Sebab senadainya hadits ini benar, maka kita tidak akan hidup di alam dunia ini. Pahadal kenyataannya hingga sekarang alam dunia ini masih berdiri tegak dan Allah telah menjelaskan hanya Dia sendiri yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat itu. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-A'raf : 187
Contoh hadits yang bertentangan dengan sunnah mutawatirah ialah hadits yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad:
وَإِنَّ كًُلَّ مَنْ يُسَمَّى بِهَذِهِ الأَسْمَاءِ (محمد واحمد) لاَ يَدْخُلُ النَّارَ
Hadits tersebut bertentangan dengan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari mereka karena keimanan dan amal shaleh.
Contoh matan hadts bertentangan dengan sejarah, seperti hadits yang menganjurkan perayaan maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang dikutip oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Madarijush Shu'ud atau Targhibul Mustaqin, (Kutipan lebih lanjut Syaikh Nawawi Al-Bantani dapat dilihat di halaman lampiran).
قاَلَ رَسُوْلًُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِىْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فىِ مَوْلِدِىْ فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جِبَلاً مِنْ ذَهَبٍ فىِ سَبِيْلِ اللهِ
Matan hadits ini bertentangan dengan sejarah, karena perayaan maulid nabi shalallahu 'alaihi wasallam baru diadakan orang pada masa pemerintahan Bani Fathimiyyah di Mesir (sekitar abad ke 4 Hijriah) kemudian dilanjutkan oleh Abu Sa'id Al-Qakburi Gubernur Irbil di Iraq pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (tahun 1139 – 1193).
Contoh hadits maudhu' yang bertentangan dengan ijma'. Ialah hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu untuk menjadi khalifah, yang menurut mereka bahwa sahabat bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut:
إِنَّهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِ عَلِىِ بْنِ اَبىِ طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ بِمَخْضَرِ مِنَ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ, وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنَ حَجَةِ الْوَدَاعِ, فَاقَامَهُ بَيْنَهُمْ حَتىَّ عَرَفَهُ الْجَمِيْعُ, ثُمَّ قَالَ: وَصِىِّ وَأَخِىْ وَالْخَلِيْفَةُ بَعْدِى, فَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا.
Hadits ini adalah maudhu' karena bertentangan dengan seluruh ijma seluruh umat, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tidak menetapkan (menunjuk) seseorang pengganti sesudah beliau meninggal dunia.
Kedua, dari segi lafadznya. Yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya berlebih-lebihan. Umpamanya berisikan pahala yang besar sekali bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil). Misalnya :
مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ إِلاَ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَاتِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
 Kita perhatikan juga hadits-hadits tentang puasa Rajab dalam kitab Qawai'idut Tahdits oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasyimi yang dikutipnya dari kitab-kitab Imam As-Suyuti. Misalnya: [6]
مَنْ صَامَ ذَالِكَ الْيَوْمُ وَقَامَ تِلْكَ اللَّيْلَةُ كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ كَمَنْ صَامَ مِائَةَ سَنَةً وَقَامَ مِائَةَ سَنَةً
D.    Motivasi-motivasi yang Mendorong Melakukan Pemalsuan Hadits.
1.      Membela suatu madzhab atau mempertahankan ideologi.
Pergolakan politik yang terpecah setelah munculnya fitnah (masa setelah terbunuhnya Utsman bin Affan) dan maraknya aliran-aliran politik seperti Khawarij dan Syi'ah.  Masing-masing aliran membuat hadits-hadits palsu untuk  memperkuat golongannya. Ini merupakan asal dari kedustaan atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Imam Malik ditanya tentang Rafidhah,[7] beliau berkata:"Janganlah engkau bicara dengan mereka, jangan meriwayatkan (hadits) dari mereka sesungguhnya mereka berdusta." Imam Asy-Syafi'i menambahkan: "saya tidak melihat kaum yang lebih berani berdusta selain kaum Rafidhah".
Misalnya hadits tentang keutamaan Siti Fathimah radhiyallahu 'anha. "Ketika Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam diisrakan, Jibril datang memberikan buah Saparjalah (semacam apel) dari surga, lalu di makannya. Kemudian Sayyidah Khadijah menghubungkan buah tersebut dengan Fathimah. Karena itu bila Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam rindu bau-bauan surga beliau lalu mencium Fathimah".
Nampak sekali ke-maudhu-an hadits ini. Bukankah Fathimah itu dilahirkan sebelum terjadinya peristiwa Isra, sebagaimana halnya Khadijah telah meninggal sebelum Isra. 
2.      Dalam rangka taqarrub kepada Allah,
Upaya ini mereka lakukan dengan meletakkan hadits-hadits targhib (yang mendorong) manusia untuk berbuat kebaikan, atau hadits yang berisi ancaman terhadap perbuatan munkar. Mereka yang membuat hadits-hadits maudhu' ini  biasanya menisbatkannya kepada golongan ahli zuhud dan orang-orang shalih. Mereka ini termasuk kelompok pembuat hadits maudhu' yang paling buruk, karena manusia menerima hadits-hadits maudhu' mereka disebabkan kepercayaan terhadap mereka.
Diantara mereka adalah Maisarah bin Abdi Rabbihi. Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari kitabnya Ad Dhu'afa', dari Ibnu Mahdi, dia bertanya kepada Maisarah bin Abdi Rabbihi:"Dari mana engkau mendatangkan hadits-hadits seperti, "Barangsiapa membaca ini maka ia akan memperoleh itu? Ia menjawab:"Aku sengaja membuatnya untuk memberi dorongan kepada manusia.". Padahal berdusta walau dengan niat yang baik hukumnya tetap haram. [8]
Imam Nawawi berkata dalam kitabnya al-Adzkar: “Ketahuilah! Sesungguhnya menurut madzhab Ahlussunnah bahwa dusta itu ialah : mengabarkan tentang sesuatu yang berlainan/berbeda/menyalahi keadaannya. Sama saja apakah engkau lakukan dengan sengaja atau karena kebodohanmu (yakni tidak sengaja). Akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja.[9]
3.      Upaya mendekatkan diri kepada penguasa demi menuruti hawa nafsu.
Sebagian orang yang imannya lemah berupaya mendekati sebagian penguasa dengan membuat hadits yang menisbatkan kepada penguasa agar mendapat perhatian. Misalnya:
إِذَا رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةً عَلىَ مِنْبَرِى فَاقْتُلُوْهُ
4.      Zindiq yang ingin merusak manusia dan agamanya.
Misalnya, Hamad bin Zaid  berkata: "Orang-orang zindiq membuat hadits dusta yang disandarkan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam sebanyak empat belas ribu hadits." Ahmad bin Shalih Al-Mishri berkata:"(Hukuman bagi) orang zindiq adalah dipenggal lehernya, orang-orang dungu itu telah membuat hadits maudhu' sebanyak empat ribu, maka berhati-hatilah." Ketika akan dipenggal lehernya Ibnu Adi berkata:"Aku telah memalsukan hadits di antara kalian sebanyak empat ribu hadits, aku mengharamkan yang halal dan  menghalalkan yang haram." Diantara mereka adalah Muhammad bin Sa'id Asy-Syami yang dihukum mati dan disalib karena kezindikannya. Ia meriwayatkan hadits dari Humaid  dari Anas secara Marfu': Aku adalah Nabi terakhir, dan tidak ada Nabi sesudahku kecuali yang Allah kehendaki.
5.      Mengikuti hawa nafsu dan ahli ra'yu yang tidak mempunyai dalil dari kitab dan sunah kemudian membuat hadits maudhu' untuk membenarkan hawa nafsu dan pendapatnya.
6.      Dalam rangka mencari penghidupan dan memperoleh rizki. Seperti yang dilakukan sebagian tukang dongeng yang mencari penghidupan melalui berbagai cerita  kepada masyarakat. Mereka menambah-nambahkan ceritanya agar masyarakat mau mendengar dongengannya, lalu mereka memberi upah. Di antara mereka adalah Abu Sa'id Al Madani.
7.      Dalam rangka meraih popularitas, yaitu dengan membuat hadits yang gharib (asing) yang tidak dijumpai pada seorangpun dari syaikh-syaikh hadits. Mereka membolak balik sanad hadits supaya orang yang mendengarnya terperangah. Di antara mereka adalah Ibnu Abu Dihyah dan Hammad bin An Nashibi.  
8.      Fanatisme terhadap Imam, kebangsaan, kebahasaan.
Misalnya, Asy-Syu'ubiyun memalsu hadits yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ إِذَا غَضَبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ وَإِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ
"Maka seorang Arab yang jahil membaliknya, perkataan ini menjadi:
إِنَّ اللهَ إِذَا غَضَبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ وَإِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ
Misal yang lain seperti seorang yang ta'ashub (fanatik) terhadap Abu Hanifah, memalsu hadits, yang berbunyi: "Akan ada dari umatku seorang laki-laki yang disebut Abu Hanifah Al-Nu'man, dia adalah penerang umatku."
Dan juga orang yang tidak senang dengan Imam Asy-Syafi'i, membuat hadits yang berbunyi:  "Akan ada dari umatku seorang laki-laki yang disebut Muhammad bin Idris, dia lebih bahaya atas umatku dari pada iblis."

E.    Hukumnya
Orang yang berdusta atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam  ancamannya sangat keras. Sebagaimana Nabi bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنىِّ (وفى رواية: مَنْ رَوَى عَنىِّ) بِحَدِيْثىِ يُرَا (وفى لفظ: يَرَا) أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنَ (وفى لفظ: الكَاذِبَيْنِ)
 “Barangsiapa yang menceritakan dariku (dalam riwayat yang lain : meriwayatkan dariku) satu hadist yang ia sangka (dalam satu lafadz : yang ia telah mengetahui) sesugguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang dari para pendusta (dalam satu lafadz : dua pendusta)”
Hadits ini derajatnya shahih dan masyhur sebagaimana diterangkan oleh Imam Muslim di muqaddimah shahihnya [10]. Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat, yaitu Samurah bin Jundud, Mughirah bin Syu’bah, dan Ali bin Abi Thalib.
Memperhatikan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: yakni "Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits saja", yakni baik berupa perkataan, perbuatan taqrir, atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, apakah menyangkut masalah-masalah hukum, aqidah, tafsir Qur’an, targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a’mal), tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru “zhan” tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu), kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya. [11]
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di kitabnya “Adl-Dlu’afaa” (1/7-8) : “Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa saja yang diadakan orang atas (nama) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta”.
Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: “Barangsiapa yang meriwayatkan dariku satu hadits padahal ia telah menyangka (zhan) bahwa hadits tersebut dusta”. Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia marfu’kan (sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), shahih atau tidak shahih, masuk ke dalam pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini”.
Oleh karenanya kita dapat mengambil pelajaran dari penjelasan tadi bahwa hadits ini mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
1.      Berdasarkan hadits shahih di atas para kita telah ijma’ tentang haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu’ apabila ia mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya. Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi’ fish-shalati ‘Alal Habibisy Syafi’ (hal. 259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa’idut Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy). [12]
2.      Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya atau shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam Ath-Thahawiy di antara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya “Musykilul Atsar” (1/176): “Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dasar dzan (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka”.
3.      Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk salah satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia meriwayatkan dan menyebarkannya.
4.      Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5.      Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu’/palsu dan membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dla’if dalam membela dan membersihakn nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Tha-aifah Mansurah.
6.      Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits) mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukan derajat-derajat hadits mana yang sah dan tidak.
7.      Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali orang yang tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
8.      Menunujukan juga bahwa meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukanlah perkara yang “ringan”, tetapi sesuatu yang “sangat berat” sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata kepada Zaid bin Arqam: "Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam !. Beliau menjawab: Kami telah tua dan (banyak) lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah berat ". (shahih riwayat Ibnu Majah, maktabah Syamilah No. 25).
Oleh karena itu wajiblah bagi kita merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut pemeriksaan ahli hadits.
Tentunya pada zaman kita sekarang ini tidak ada lagi orang yang memalsukan hadits, walaupun hal itu bukanlah hal yang tidak mungkin, tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits palsu itu melalui mimbar para khatib, majelis-majelis ilmu dan tulisan di kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum muslimin.

F.     Kesimpulan
1.      Meriwayatkan hadits maudhu' dengan sengaja tanpa memberi tahu kemaudhu'annya atau sengaja mengamalkan hadits maudhu' termasuk dosa besar.
2.      Setiap pengguna hadits, wajib hati-hati agar tidak meriwayatkan atau mengamalkan hadits maudhu' dengan sengaja. Hal itu karena pembuat hadits maudhu' telah melecehkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merusak kesucian syari'ah, menipu orang lain dan menyesatkan manusia.

G.    Maraji'
1.      Dr. Muhammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadits Maudhu', Pustaka Setia Bandung, 2001.
2.      Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, PT. Al-Ma'arif Bandung, 1970
3.      Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta.
4.      Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqalani (wafat th. 852), Fath-hul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari, penerbit Daarul Fikr Beirut.
5.      Al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimsyiqi, Riyadhus Shalihin, Penerbit Jam'iyyah At-Turast Al-Islami, Kuwait.
6.      Abdul Hakim bin Amir Abdat, Taisir Mushalahul Hadits
7.      Software Maktabah Syamilah, Al-Ishdar Ast-Tsani.

Lampiran
A.    Kutipan Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Madarijushshu'ud yang menjelaskan tentang perayaan maulid nabi shalallahu 'alaihi wasallam
Imam Nawawi Al-Bantani, mengutip hadist, atsar tentang perayaan Maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang kemudiab hadits atau atsar ini beliau cantumkan dalam kitabnya yang berjudul Madaarijussu’uud halaman 15-16, tetapi sama sekali tidak menyebutkan perawinya. Katanya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من عظّم مولدى كنت شفيعا له يوم القيامة ومن أنفق درهما فى مولدى فكأنما أنفق جبلا من ذهب فى سبيل الله
“Barangsiapa yang mengagungkan kelahiranku, maka nanti di hari kiamat akan mendapatkan syafa’at dariku.” “Barangsiapa yang menginfakan dirham untuk keperluan merayakan kelahiranku, maka seolah-olah telah menafkahkan emas sebesar gunung untuk kepentingan agama Allah Ta’ala.
عن أبي بكر الصديق: من أنفق درهما فى مولد النبي صلى الله عليه وسلم كان رفيقي فى الجنة.
“Barangsiapa yang menafkahkan harta untuk keperluan maulid Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam maka akan menjadi temanku nanti di surga.”
عن عمر ابن الخطاب رضي الله عنه: من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحيا الإسلام
“Barangsiapa yang memuliakan kelahiaran Nabi shalallahu 'alaihi wasallam maka benar-benar ia telah menghidupkan agama Islam.”
عن عثمان ابن عفان رضي الله عنه: من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فكأنما شهد يوم وقعة بدر وحنين.
“Barangsiapa yang menafkahkan harta untuk perayaan maulid Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam maka seolah-olah ia syahid di perang badar dan khunain.”
عن علي ابن أبي طالب كرم الله واجهه ورضي الله عنه: من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم لا يخرج من الدنيا الا بالإيمان
“Barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam maka ia tidak akan keluar dunia, kecuali membawa iman kepada Allah Subhanahu wata'alaa.
من جمع لمولد النبي صلى الله عليه وسلم اخوانا وهيأ لهم طعاما وعمل احسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين.
Artinya: “Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin. kemudian mereka berada di dalam Jannatun Nai’iim.
7. Menurut Imam Sari Asaqathi rahimahullah
من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أعطى روضة فى الجنة لأنه ما قصد ذلك الموضع الا لمحبته صلى الله عليه وسلم وقد قال صلى الله عليه وسلم من أحبنى كان معي فى الجنة
“Barangsiapa yang sengaja mendatangi suatu tempat di mana di dalamnya dibacakan maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, maka sungguh ia akan dikarunia raudlatul jannah (kebun syurga). Sebab ia memiliki kecintaan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mencintai aku, niscaya ia akan berada bersamaku di surga.”
B.     Kutipan Muhammad Jamaluddin Al-Qasyimy dalam kitab Qawai'idut Tahdits tentang hadits-hadits puasa Rajab yang dikutipnya dari kitab-kitab Imam As-Suyuti.
فى رجب بوم وليلة. من صام ذالك اليوم وقام تلك الليلة كان له من الأجر كمن صام مائة سنة وقام مائة سنة, وهى لثلاث بقين من رجب فى ذالك اليوم بعث الله محمد نبيا. (موضوع قاله السيوطى فى النكت البديعة)
من صام يوما فى رجب وقام ليلة من لياله بعث الله امنا يوم القيامة ومر على الصراط المستقيم وهو يهلل او يكبر. (موضوع وفى إسناده اسماعيل بن يحي كذاب)
من احيا ليلة من رحب وصام يوما منه اطعمه الله من ثمار الجنة وكساه من حلل الجتة وسقاه من الرحيق المختوم. (موضوع وفى إسناده حصين بن محارق وكان يضع الحديث قاله السيوطى فى الألي المصنوعة)
من صام من رجب يوما تطوعا اطفأ صومه ذالك اليوم غضب الله واغلق عنه أبواب النار. (موضوع, ذكره السيوطى وقال: ظلمات بعصها فوق بعض
SEMOGA BERMANFAAT
Salam Ukhuwah Penuh Kasih


[1]  Tugas Makalah Ulumul Hadits PPs IAIN SMH Banten. konsentrsi Pendidikan Agama Islam. Disusun Abd. Wahid (NIM 140101010). Dosen Pengampu: Prof. DR. H. Utang Ranuwijaya, MA.
[2]  Hadits Shahih diriwayatkan oleh HR. Bukhari 1/186, Muslim juz 1/12, Abu Daud 10/61, At-Tirmidzi 9/262, Ibnu Majah 1/125, Ahmad, 2/57
[3] Al-Imam Al-Bukhari
[4]  Al-Maudhuu’aat oleh Ibnul Jauzi (I/246-247), Mizaanul I’tidal III/549), Lisaanul Mizan (V/168), al-Fawaa-idul Majmu’ah fii Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 268 no. 944).
[5]  Dr. Muhammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadits Maudhu', Pustaka Setia Bandung, 2001, hal. 70
[6] Contoh hadits yang senada dapat dilihat di dalam lampiran
[7] Rafidhah adalah sekelompok penganut Syi'ah yang memandang 'Ali dan anak cucunya lebih utama daripada Abu Bakar dan 'Umar. Mereka tidak menyukai kedua sahabat Nabi yang khalifah itu, bahkan mencaci-makinya. Kaum Rafidhah mempercayai, para imam itu ma'shum alias bebas-salah. Mereka memberikan segala kehormatan Nabi (selain kenabian) kepada para imam. Mereka juga mempercayai kedatangan kembali imam Muntadhar (imam tertunggu) yang sementara ini menghilang, tanpa meninggal. Lihat Muqaddimah Fathul Bari Ibnu Hajar Al-Asqalani
[8] Ikhtisar Musthalahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman, hal. 169.
[9] Al Adzkar An Nawawi lil Imam an Nawawi, Maktabah Syamilah
[10] Maktabah Syamilah, 1/7
[11]  Abdul Hakim bin Amir Abdat, Taisir Mushalahul Hadits
[12]  Abdul Hakim bin Amir Abdat, Taisir Mushalahul Hadits