Senin, 18 April 2011

Islam Sebagai Ilmu

Gagasan Kuntowijoyo tentang Pengilmuan Islam.
Tugas Makalah

A. Iftitah
Dalam bahasa Arab, Islam berarti “berserah diri” dan merupakan suatu Din yang berarti “aturan” atau “sistem” (QS. Al-Maidah/5 : 83). Secara etimologis, kata tersebut diturunkan dari akar yang sama dengan kata salam yang berarti “damai”. Kata ‘Muslim’ (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām. Kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah” dalam bahasa Indonesia. Secara konseptual, Islam adalah ajaran yang membawa keselamatan dalam kehidupan di dunia dan akhirat dengan berserah diri kepada Allah Subhanahu wata'alaa.
Salah satu hadis nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa Islam adalah sebagai sebuah pengakuan diri akan keesaan Allah Subhanahuwata'alaa bahwa Ia adalah Tuhan yang sepatutnya diimani, diyakini sebagai Penguasa segalanya dan tiada penguasa selain-Nya. Termasuk pula di dalam Islam, pengakuan akan kerasulan Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, sebagai pembawa risalah terakhir kenabian.
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan seluruh manusia, sifatnya melingkupi keseluruhan ajarannya. frasa Rahmatan lil alamiin, (QS. Al-Anbiya/21 : 107) adalah sebuah simbol Islam yang pemersatu dan penyempurna. Pemersatu, diartikan bahwa Islam adalah milik siapa saja yang mengakui eksistensi makna Islam. Dan penyempurna diartikan bahwa Islam mencakup segala aspek kehidupan, dengan berusaha mengayomi seluruh umat manusia. Titik tekannya adalah pada penyempurnaan akhlak (li-utammima makaarimal akhlaq).
Misi penting inilah yang menjadikan Islam berbeda dengan agama yang lain, sementara banyak orang ketika melihat agama bisa dipastikan menggunakan paradigma agama selain Islam termasuk umat Islam sendiri. Akibatnya pada awal perkembangan Islam tidak terjadi masalah. Permasalahan muncul ketika terjadinya penjajahan di negara-negara muslim. Sehingga terjadi penyempitan makna Islam dan istilah-istilah dalam Islam termasuk dalam istilah-istilah arab. Pada gilirannya yang muncul adalah pemisahan agama terhadap ilmu dan sebaliknya. Maka muncullah istilah madrasah yang disempitkan maknanya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama saja, sementara istilah 'sekolah' dimaknai sebagai lembaga yang pelajaran agamanya hanya sedikit.
Islam (Al-Qur'an dan As-Sunnah) adalah agama untuk orang hidup, maka implikasinya Al-Qur'an dan As-Sunnah mengandung banyak ilmu keduniaan (epistemologi, aksiologi, ontologi dan lainnya). Coba kita perhatikan Surat Yasin saja (surat Al-Qur'an yang paling digemari dan digandrungi oleh kebanyak kaum muslimin di Indonesia), kita akan mendapatkan ilmu pertanian dan derivasinya (ilmu tanah, ilmu untuk mengawinkan tanaman, ilmu yang berkaitan dengan air hujan, sampai teknologi pertanian).
Ada pendapat menarik dari seorang Ulama dari Iran menyatakan: "Dalam Al- Qur’an Perbandingan antara ayat muamalah (ibadah sosial) dengan ayat yang berkaitan ibadah ritual (ibadah vertikal) adalah 100 ayat berbanding 1 ayat. Dan dalam Hadis dari sekitar 50 pokok bahasannya tidak lebih dari tiga atau empat yang berbicara tentang ibadah ritual, selainnya adalah berkaitan dengan mu’amalah (ibadah sosial)”.
Abdul Wahab Khalaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo Mesir, merinci ayat-ayat tentang hukum (ahkam) terdiri dari; a) ayat tentang ibadah ritual : 140, b) ayat tentang hidup bermasyarakat, perkawinan, perceraian, hak waris : 70, c) ayat tentang perdagangan, perjanjian, persewaan : 70, d) ayat tentang perilaku kriminal : 30, e) ayat mengenai hubungan Islam dengan non-Islam : 25, f) ayat tentang soal pengadilan : 13, g) ayat tentang soal kaya-miskin : 10, dan h) ayat tentang kenegaraan : 10 ayat.
Paparan di atas menunjukkan bahwa seluruh ajaran ritual yang ada di dalam Al-Qur’an tidak hanya bersifat individual, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana seorang muslim dapat mengimplementasikan makna dan filosofi dari setiap ibadah ritual yang mereka lakukan ke dalam kehidupan duniawi. Perbandingan ini juga menunjukkan bahwa keshalehan sosial lebih mendapatkan proporsi yang tinggi dibandingkan dengan keshalehan individual yang didasari doktrin islam sebagai dogma bukan lagi sebagai ilmu (ajaran)
Maka perdebatan antara ilmu dan agama sampai hari ini masih dan akan terus terjadi. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas berkembangnya beragam agama, baik agama samaawi maupun ardhi. Dari sisi agama samawi pun masih juga terdapat masalah, karena kriteria masing-masing agama samawi juga ada perbedaan dalam gradasi antara ibadah mu'amalah dan ibadah ritual. Gradasi yang sangat kuat terletak pada agama Islam, sehingga memunculkan istilah islamisasi ilmu dan pengetahuan yang digagas dan dikembangkan oleh Ismail Raji' Al-Faruqi, Naquib Al-Attas dan Kuntowijoyo.

B. Islam Sebagai Ilmu dalam Gagasan Kuntowijoyo radhiyallahu 'anhu
Kuntowijoyo menceritakan bahwa Islamisasi pengetahuan adalah gerakan intelektual yang pertama kali dimunculkan oleh Isma’il Raji Al-Faruqi pada sebelum tahun 1980-an. Islamisasi pengetahuan mengupayakan agar umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Konsep Islamisasi Pengetahuan ini merumuskan tiga macam kesatuan yang merupakan penjabaran dari tauhid yaitu kesatuan pengetahuan, kesatauan kehidupan dan kesatuan sejarah.
Kesatuan pengetahuan ialah bahwa pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup artinya hilangnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dan dan ilmu yang bebas nilai. Sedangkan kesatuan sejarah artinya pengetahuan artinya harus mengabdi kepada umat. Islamisasi pengetahuan artinya mengembalikan pengetahuan kepada tauhid atau konteks kepada teks supaya ada koherensi dalam artian pengetahuan yang tidak terlepas dari iman
Di dalam naskah (photo copi-an dari pak Dosen), Kuntowijoyo mengkritisi konsep "islamisasi pengetahuan" karena ada persoalan objektifitas pengetahuan yang menurutnya Islam sendiri mengakuinya. Sehingga ia menganggap perlu Islamisasi pada sebagian pengetahuan dan menyatakan ketidak bergunaan pada sebagian yang lain. Kemudian Kuntowijoyo mengeluarkan gagasan baru yang disebutnya sebagai "pengilmuan Islam" sebagai demistifikasi Islam. Karena menurutnya dengan demistifikasi maka umat akan mengenal lingkungan secara lebih baik, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan simbolis maupun lingkungan sejarah.
Secara harfiah, frasa “pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dari sini saja bisa muncul banyak pertanyaan. Pertama, perlu diperhatikan bahwa ia tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, misalnya. Tapi Islam itu sendiri yang merupakan ilmu. Dengan “pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam adalah caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.

C. Objektifikasi Islam: dari Mitos dan Ideologi menjadi Ilmu
Satu cara untuk memahami gerak “pengilmuan Islam” adalah dengan memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan Muslim yang dibuat oleh Kuntowijoyo. Periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu. Keputusan baik yang diambil di suatu periode belum tentu akan bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos, lalu sebagai ideologi, dan terakhir sebagai ilmu.
Periodisasi ini sesungguhnya awalnya dibuat untuk membagi sejarah politik umat Islam (khususnya di Indonesia). Namun karena pembagian ini dibuat berdasarkan sistem pengetahuan masyarakat, ia berguna pula untuk memahami gerakan pengilmuan Islam yang diusulkan untuk periode terakhir umat Islam ini. Pada periode pertama, Islam dipahami lebih sebagai mitos; sebagai sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, dijaga kemurniannya dari campuran-campuran non-islami, dan jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar.
Islam sebagai ideologi sudah bersifat lebih rasional, tapi masih terlalu apriori/ nonlogis. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam bidang politik, ciri utama gerakan ini adalah berdirinya organisasi-organisasi politik, dan ditandai dengan gagasan pembentukan Negara Islam. Islam eksis hanya jika ia eksis secara institusional-formal. Karena itu, ketika di Indonesia semua ormas diharuskan berasas Pancasila, ini dipahami sebagai upaya de-islamisasi. Padahal, kata Kuntowijoyo, ini juga bisa dilihat sebagai isyarat bahwa Islam perlu memasuki babak baru, yaitu periode Islam sebagai ilmu.
Dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam. Untuk mengambil contoh aktifitas dalam periode ini di bidang politik, Kuntowijoyo memahami benar bahwa bagi para founding fathers Indonesia yang Muslim, menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta amat berat dilakukan, namun toh akhirnya dilakukan juga. Keputusan yang sama beratnya mesti diambil ketika pada masa Orde Baru terjadi marjinalisasi keterlibatan politik Muslim. Namun, kata Kuntowijoyo, “sekali lagi diminta kesadaran bahwa umat menjadi bagian dari bangsa yang plural.” “Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … [Padahal] Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” Gagasan objektifikasi Islam diharapkan “dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi, umat sendiri, dan nonumat.”.
Namun ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar ia benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya memenuhi keinginan eksklusif sebagian kaum beragama tertentu untuk menegaskan identitasnya. Persis itulah yang menjadi salah satu tujuan objektifikasi, yaitu untuk menghindari dominasi satu kelompok agama atas kelompok-kelompok lainnya. Dengan ini, Muslim masih dapat tetap menjadikan al-Qur'an sebagai sumber hukum. Namun, “Objektivikasi Islam akan menjadikan al-Qur'an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara.” Muslim tak dapat serta merta menerapkan syari'ah menjadi hukum negara, misalnya, tapi itu hanya dapat dilakukan jika ada kesepakatan dari semua, termasuk non-Muslim. Ini hanya bisa dicapai jika nilai-nilai Islam itu telah diobjektifikasi sehingga tampil sebagai nilai-nilai yang dapat diterima semua orang lepas dari latar belakang/sumber nilai-nilai itu.
Sesungguhnya, Kuntowijoyo juga menyarankan bahwa semua agama melakukan hal yang sama, objektifikasi. Jika demikian, ini akan menjamin bahwa konflik dapat dihindari. Islam -dan sesungguhnya semua agama- bukan lagi berwujud identitas atau simbol yang diterjemahkan dalam label-label institusional yang menarik garis antara kelompokku dan kelompokmu, tapi justru ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif. Kalaupun, misalnya, partai Islam atau partai Kristen ingin didirikan, perjuangannya tak lagi bersifat partisan. Nilai-nilai agama tertentu bisa diusung dalam agenda perjuangannya, tapi sebagai nilai-nilai yang kebaikannya bersifat objektif, bisa dipahami semua orang.
Kita dapat memahami beberapa pra-anggapan filosofis Kuntowijoyo. Sedikitnya ada dua hal yang bisa dicermati, yaitu:
- Dalam polarisasi mazhab rasionalis dan tekstualis, posisi Kuntowijoyo ada dalam “kubu” pemikiran Islam yang lebih rasionalis;
- Beliau meyakini bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa.
Di awal perkembangan pemikiran Islam, ada ikhtilaf di kalangan pemikir Muslim yang membagi mereka ke mazhab-mazhab rasionalis (mu'tazili) dan tekstualis. Kaum tekstualis, misalnya, memahami bahwa sesuatu perbuatan bersifat baik atau buruk karena ia diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan; kaum rasionalis, sebaliknya, melihat bahwa sesuatu perbuatan dilarang atau diperintahkan oleh Tuhan karena perbuatan tersebut bersifat baik atau buruk. Yang pertama menaruh kesetiaannya pertama-tama pada teks; yang kedua terutama melihat adanya nilai inheren yang objektif dalam agama. Ini jelas memberi ruang yang cukup besar bagi manusia untuk memikirkan rasionalitas teks.
Kuntowijoyo saya kira tak ingin bergerak sejauh itu. Namun secara teoretis, keyakinannya akan rasionalitas Islamlah yang memungkinkannya menggagas objektifikasi Islam. Sementara kaum tekstualis selalu ingin kembali kepada teks; kaum rasionalis seperti Kuntowijoyo berangkat dari teks namun kemudian bergerak jauh untuk menjelajahi dunia. Yang pertama biasanya bersifat amat normatif, yang kedua empiris. Inilah yang nanti akan ditunjukkan sebagai salah satu pembeda pengilmuan Islam dari islamisasi ilmu.
Ciri utama periode ilmu adalah aktifitas objektifikasi Islam agar “Islam jadi rahmat untuk semua”. Gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena ia berasal dari Islam; berasal dari Islam atau tidak, itu tak penting lagi. Yang penting adalah bahwa nilai-nilai itu bisa ditunjukkan sebagai mengandung kebaikan pada dirinya sendiri, sehingga sumber nilai-nilai itu menjadi tak penting; yang penting adalah kemampuan menjustifikasinya secara rasional, demi mempersuasi sebanyak mungkin orang untuk menerimanya.
Sebagai hasilnya, “Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.” Objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tanpa mengenal agamanya, non-agama, bahkan anti agama. “Pendeknya, dari orang beriman untuk seluruh manusia.”.
Hal yang persis sama berlaku untuk agama-agama lain, yang bagi Kuntowijoyo juga perlu melakukan objektifikasi agar manfaatnya dirasakan semua orang. Ini karena ia tampak yakin benar bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa. Untuk ini, cukuplah mengutip pernyataannya yang paling jelas dan eksplisit dalam tulisan terakhirnya “Maklumat Sastra Profetik” di Horison (Mei 2005). Sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, yang melampaui keterbatasan akal manusia,
“… Kitab Suci yang satu tidak lebih tinggi daripada Kitab Suci lainnya. Mereka sejajar. Islam mengajarkan (Al-Quran Surat Ali Imran/3: 64) tentang adanya kalimah sawa' (titik temu, konsensus, common denominator). Tidak ada pertentangan tentang hal-hal yang fundamental, meskipun ada perbedaan dalam detailnya. Maka sekalipun dalam maklumat ini saya hanya mengemukakan ajaran dari satu Kitab Suci saja, saya yakin dapat mewakili semua Kitab Suci lainnya. Sebab, maklumat ini hanya akan membicarakan hal-hal yang ada titik temunya, dan yang tidak kontroversial.”.
Kalimat terakhir perlu digarisbawahi: bagi Kuntowijoyo, keberpihakan pada etika profetik (yang dijabarkannya menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) adalah hal-hal yang tak kontroversial, bisa diterima semua orang (kecuali mungkin nilai ketiga, yang bermakna hanya bagi kaum beragama). Bagi Kuntowijoyo yang Muslim, inspirasi mengenai ketiga cita-cita profetik ini didapatnya dari Al-Qur'an surat 3 : 110:
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Tuhan”.
Kunto membaca ayat ini sebagai perintah untuk memperjuangkan humanisasi ( amar ma'ruf ), liberasi ( nahi munkar ), dan transendensi (beriman kepada Tuhan). Tanpa melakukan kajian lebih jauh, tampaknya tak sulit menemukan cita-cita profetik yang serupa di agama-agama lain.
Dalam “Maklumat Sastra Profetik”, ia menjabarkan agenda etika profetik itu secara lebih terinci. Yang pertama, adalah melawan kecenderungan dehumanisasi (dalam wujud manusia mesin, manusia massa, dan budaya massa ). Agenda liberasi adalah pembebasan masyarakat dari penindasan politik dan negara, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender. Agenda transendensi adalah “menghidupkan kembali” Tuhan yang telah dibunuh oleh beberapa aliran filsafat Barat.

D. Islamisasi Ilmu vs Pengilmuan Islam
Di atas “pengilmuan Islam” dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan “pengilmuan Islam”. Dalam konteks yang berbeda, Kuntowijoyo membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks ke konteks; islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks; sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur'an dan As-Sunnah).
Dalam beberapa pembahasan Kuntowijoyo, pengilmuan Islam terkadang sulit dibedakan dari islamisasi ilmu, dan tampaknya di tulisan-tulisan awalnya Kuntowijoyo tak secara ketat membedakan keduanya. Atau, penjelasan yang lebih memuaskan adalah bahwa Kuntowijoyo sesungguhnya telah mengubah posisinya mengenai gagasan islamisasi ilmu, yang di tahun 80-an dan 90-an merupakan gagasan yang amat populer di dunia Muslim. Perubahan posisi Kuntowijoyo tampak cukup jelas dalam buku Islam sebagai Ilmu yang mengandung bab-bab yang ditulis pada 1991 hingga 2004.
Sebagai contoh, di bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991) ia menyebutkan secara positif (dan eksplisit) upaya islamisasi ilmu yang dipahami sebagai upaya perumusan teori yang didasarkan pada paradigma al-Qur'an. Ia juga tak bersepakat dengan Ziauddin Sardar yang mengkritik upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Namun dalam tulisannya yang terbit pada 2002, ia menghadapkan pengilmuan Islam sebagai alternatif bagi islamisasi ilmu. Di pengantar buku itu, Kunto bahkan secara tegas mengatakan, “… gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah ‘pengilmuan Islam'. Kita harus meninggalkan ‘Islamisasi pengetahuan'….”
Tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman ilmu dengan pengilmuan Islam. Perbedaan pertama adalah dalam hal metodologinya. Yang pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah wujud, yang dipandang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih dipahami sebagai teks.
Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular.
Berangkat dari keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan humanisasi), yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan peran yang cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan umat manusia. Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah bahwa yang belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat memecahkan persoalan.
Di sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan tek-teks agama; dengan kata lain, menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan Islam”. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif.
Jadi, di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekular, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikan, tapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Kerangka teoretis inilah yang ingin diturunkan Kuntowijoyo dari kitab suci (dalam hal ini, al-Qur'an).
Secara umum, bagi Kuntowijoyo, modal utama untuk memperbaiki ilmu-ilmu modern adalah agama. Agama penting dilibatkan di sini justru karena keberpihakannya cukup jelas, yaitu kepada kepentingan kemanusiaan (yang, sebagaimana disinggung di atas, dijabarkan menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) . Namun, sekali lagi, ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya absah bagi pemeluknya.
Sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa perbedaan pengilmuan Islam dengan islamisasi ilmu terletak dalam beberapa hal. Pertama , pengilmuan Islam lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua , islamisasi ilmu lebih bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan memberikan perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga , pengilmuan Islam (dalam wujudnya sebagai ilmu sosial profetik) lebih menekankan pada berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris itu.

E. Analisis
Dalam pandangannya Kutnowijoyo menyatakan bahwa Strukturalisme transedental merupakan epistemologi Paradigma Islam yang memberikan gambaran aksiologis umat Islam untuk merekayasa transformasi sosial. Maka dalam hal ini Kuntowijoyo menghindari bias-bias historis dari pemahaman klasik, agar mendapatkan model pemahaman baru terhadap Al-Quran. Namun upaya menghindari bias-bias historis itu dengan sendirinya is langgar. Ia menawarkan pendekatan sintetik analitik yang tentu saja masih memerlukan kajian ulang terhadap konsep yang ada dalam Al-Quran, seperti yang dipahami oleh masyarakat di mana dan kapan Al-Quran diturunkan. Disini ada sedikit ketidak konsistenan beliau, karena ia sendiri menyatakan bahwa akan kesulitan menerapkan ajaran agama ketika tidak belajar konteks sejarah saat konsep agama itu turun, masa lalu dan tentu saja masa kini.
Kemudian dari segi konsep integralisasi keilmuannya seharusnya Kuntowijoyo juga menceritakan konsep klasifikasi ilmu menurut tokoh-tokoh Islam terdahulu. Seperti Al- Ghazali yang memisahkan antara ilmu religius yang dipandang lebih mulia dari pada ilmu 'nuqilan' yang berdasarkan pada pencapaian akal manusia belaka. Lebih lanjut Al- Ghazali mendefinisikan ilmu religius itu adalah ilmu-ilmu yang diperoleh para nabi dan tidak hadir pada mereka melalui akal, seperti aritmetika atau melalui percobaan, seperti pengobatan atau dengan mendengar seperti bahasa. Hal ini semestinya dilakukan, karena pada dasarnya Kuntowijo memberikan sebuah konsep mengenai keIslaman. Sehingga seyogyanya Kuntowijoyo memberikan pandangan dari tokoh klasik sebagai pembanding konsep yang dibawanya.
Terakhir, kalau dibandingkan dengan realitas kemungkinan besar penerapannya akan sama. Karena sama-sama menggunakan konsep “knowledge based on religion”. Inti Islamisasi pengetahuan dengan Pengilmuan Islam adalah bagaimana praktik pengetahuan didasarkan pada ajaran agama Islam. Perbedaannya yang terlihat adalah pada Pengilmuan Islam konsep penerapan Islam pada realitas telah dipahami diawal sebelum realitas muncul dan pada Islamisasi pengetahuan sebuah pengetahuan hadir dulu baru diislamkan. Tetapi meskipun begitu cita-cita ilmu sosial profetik merupakan ciri khas dari buku Kuntowijo ini. Ini merupakan cita-cita yang sangat mantap. Dengan konsep ini maka akan terciptanya masyarakat madani yang adil, aman dan tenteram. Karena umat telah termanusiakan kemudian terbebaskan dan telah menjiwai nilai-nilai ruhiyah.


F. Ikhtitam
Kuntowijoyo adalah suatu sosok multidimensional—seorang ilmuwan sosial, sejarawan, dan sastrawan. Dengan mengangkat gagasan pengilmuan, ia ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.
Dengan ini kita bisa memahami “ambisi”-nya melakukan outreach ke sebanyak mungkin orang, tanpa mengenal batasan-batasan identitas. Perhatian utamanya adalah kemanusiaan, dan semua aktifitas, termasuk aktifitas beragama, mesti ditujukan untuk melayani kepentingan umat manusia. Tak mengherankan jika ia sempat menolak ajakan malaikat untuk terbang ke langit, seperti disampaikan oleh puisi yang menjadi motto seminar ini. Sebagaimana ditunjukkan Nabi Muhammad, hatinya ada bersama manusia yang hidup di dunia ini, khususnya kaum yang menderita. Salah satu kisah Nabi Muhammad yang tampaknya menjadi favoritnya dan kerap disampaikannya adalah kisah yang disampaikan penyair-filosof Muhammad Iqbal mengenai penolakan Nabi untuk tetap tinggal di langit dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Ia ingin kembali ke bumi untuk melaksanakan cita-cita profetiknya. Solidaritas kemanusiaan universal inilah kiranya yang menjadi pesan utama dakwah Kunto, dan yang sulit ditolak bahkan oleh kaum pasca-modernis yang mencurigai setiap klaim universalitas.