Rabu, 09 Maret 2011

Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga

Oleh: Ustadz Yajid bin Abdul Qadir Jawwas
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Ber-takwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah).
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah... Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” [Al-Baqarah: 153]
Juga firman-Nya:
“Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.
Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.
Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]
Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar tentang Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.
Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ke-adaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]
Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang di-maksud dengan diinul haqq (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]
Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
[1]. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]
Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.
Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4]
[2]. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menun-tut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.
“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna: Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.
“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•
Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]
Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an dan As-Sunnah di rumah mereka. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikan-lah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Menge-tahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]
Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
[3]. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat ber-tanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [7]
‘Atha' bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, me-nikah, cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.
Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan yang benar.
Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadz-kiratus Samii’, begitu pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahumullaah.
Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai kitab para ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi panduan agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan jalan kita untuk me-masuki Surga-Nya. Aamiin.
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpah-kan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari Kiamat.
[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).

Selasa, 08 Maret 2011

Hadits Maudhu dan Hukum Meriwayatkannya

A.  Muqadimah.
Hadits merupakan sumber kedua setelah Al Qur'an dalam islam. Kita sebagai seorang muslim tidak meyakini bahwa semua hadits adalah shahih. Namun juga tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits itu palsu, sebagaimana anggapan para orientalis. Jadi memang ada hadits yang shahih, hasan, dha'if, dan maudhu'(palsu). Dalam dalam kesempatan ini, insya Allah saya akan menjelaskan seputar hadits maudhu', agar kita faham pembahasan yang berkaitan dengan hadits maudhu', baik pengertian, hukum, ciri-ciri  maupun yang lainnya.
B.  Pengertian.
Menurut bahasa: Merupakan ism maf'ul (objek)dari kata wadha'a Asy Syaia,  yang berarti menurunkannya. Dinamakan seperti itu, karena  memang menurunkan derajatnya. Menurut istilah adalah kedustaan  yang dibuat dan direka-reka  yang disandarkan atas nama Rasulullah n ia termasuk periwayatan yang paling jelek.

C.     Awal Munculnya Hadits Maudhu'.
Perpecahan kaum Muslimin menjadi beberapa kelompok setelah fitnah(masa setelah terbunuhnya Utsman bin Affan), menjadikan setiap kelompok mencari dukungan dari Al Qur'an dan As Sunah. Sebagian kelompok mentakwilkan Al Qur'an  bukan pada makna sebenarnnya. Dan membawa As Sunah bukan pada maksudnya. Bila mereka mentakwilkan hadits mereka menisbatkan kepada Nabi. Apalagi tentang keutamaan para Imam mereka. Dan kelompok yang pertama melakukan hal itu adalah Syi'ah.
Hal ini tidak pernah terjadi paada masa Rasulullah n dan tidak pernah dilakukan seorang shahabatpun. Apabila diantara mereka berselesih mereka berijtihad, dengan mengedepankan mencari kebenaran.    

D.  Derajat Hadits Maudhu' dan Hukum Meriwayatkannya.
Hadits maudhu' merupakan hadits yang paling rendah dan paling buruk. Sehingga para ulama' sepakat, haramnya meriwayatkan hadits maudhu'  dari orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun,   kecuali disertai dengan penjelasan akan kemaudhu'anya.
Nabi bersabda: "Barangsiapa yang menceritakan hadits dari sedang dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta."(HR. Muslim).

E.   Cara Yang Ditempuh Pembuat Hadits Maudhu'.
  1. Membuat perkataan yang berasal dari dirinya, kemudian meletakkan sanadnya dan meriwayatkannya.
  2. Mengambil perkataan ahli bijak atau selain mereka kemudian meletakkan sanadnya.

F.   Bagaimana Mengetahui Hadits Maudhu'.
1.  Pengakuan dari orang yang memalsukan hadits. Seperti pengakuan Abi 'Ishmat Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh Al Jami', bahwasanya ia telah memalsukan hadits atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan Al Qur'an surat per surat. Dan seperti pengakuan Maisarah bin Abdi Rabbihi Al Farisi bahwa dia telah memalsukan hadits tentang keutamaan Ali sebanyak tujuh puluh hadits.
2.   Pernyataan  yang diposisikan sama dengan pengakuan. Seperti seseorang menyampaikan hadits dari seorang syaikh, dan hadits itu tidak diketahui  kecuali dari syaikh tersebut. Ketika ditanya perawi tersebut, tentang tanggal kelahirannya, ternyata perawi dilahirkan sesudah kematian syaikh. Atau pada saat syaikh meninggal dia masih kecil dan tidak mendapatkan periwayatan.
3.   Adanya inidikasi perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya. Misal perawi Rafidhah, haditsnya tentang keutamaan ahli bait. As Suyuthi berkata:"Dari indikasi perawi (maudhu') adalah dia seorang Rafidhah dan haditsnya tentang keutamaan ahli bait.. Hamad bin Salamah berkata:"Menceritakan kepada syaikh mereka(Rafidhah), dengan berkata:"Bila kami berkumpul-kumpul, kemudian ada sesuatu yang kami anggap baik maka kami jadikan sebagai hadits."
4.  Adanya indikasi pada isi hadits, bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan indra, berlawanan dengan ketetapan agama atau susunan lafadz lemah dan kacau, serta kemustahilan hadits tersebut  bersumber dari Rasulullah n .
Menurut Abu Bakar bin Ath Thayib:"Sesungguhnya bagian dari petunjuk maudhu' adalah tidak masuk akal yang tidak bisa ditakwil disertai dengan tidak berdasar pada panca indra, atau menafikan dalil-dali Al Qur'an yang qath'I, sunah yang mutawatir dan ijma'. Adapun jika bertentangannya memungkinkan untuk dijamak, maka ia tidak (maudhu')."
Ibnu Al Jauzi berkata:"Perkataan yang paling tepat berkenan dengan hadits maudhu' adalah, apabila kamu melihat hadits yang menjelaskan akal, menyelisihi naql (dalil), atau yang membatalkan masalah ushul(akidah), ketahuilah sesungguhnya itu adalah maudhu'."
Misalnya apa yang diriwayatkan Abdurahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya secara marfu'," Bahwa kapal Nabi Nuh  thawaf mengelilingi ka'bah tujuh kali dan shalat dua rakaat di maqam Ibrahim.

G.    Motivasi-motivasi yang Mendorong Melakukan Pemalsuan Hadits.
a.       Membela suatu madzhab, termasuk madzhab yang terpecah menjadi aliran politik setelah munculnya fitnah(masa setelah terbunuhnya Utsman bin Affan) dan maraknya aliran-aliran politik seperti Khawarij dan Syi'ah.  Masing-masing aliran membuat hadits-hadits palsu untuk  memperkuat golongannya. Ini merupakan asal dari kedustaan atas nama Rasulullah n .
Imam Malik ditanya tentang Rafidhah, berkata:"Janganlah engkau bicara dengan mereka, jangan meriwayatkan (hadits) dari mereka sesungguhnya mereka berdusta."
b.      Dalam rangka Taqarrub kepada Allah, dengan meletakkan hadits-hadits targhib(yang mendorong) manusia untuk berbuat kebaikan, atau hadits yang berisi ancaman terhadap perbuatan munkar. Mereka yang membuat hadits-hadits maudhu' ini   biasanya menisbatkannya kepada golongan ahli zuhud dan orang-orang shalih. Mereka ini termasuk kelompok pembuat hadits maudhu' yang paling buruk, karena manusia menerima hadits-hadits maudhu' mereka disebabkan kepercayaan terhadap mereka.
Diantara mereka adalah Maisarah bin Abdi Rabbihi. Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari kitabnya Ad Dhu'afa', dari Ibnu Mahdi, dia bertanya kepada Maisarah bin Abdi Rabbihi:"Dari mana engkau mendatangkan hadits-hadits seperti, "Barangsiapa membaca ini maka ia akan memperoleh itu? Ia menjawab:"Aku sengaja membuatnya untuk memberi dorongan kepada manusia."
c.       Mendekatkan diri kepada penguasa demi menuruti hawa nafsu. Sebagian orang yang imannya lemah berupaya mendekati sebagian penguasa dengan membuat hadits yang menisbatkan kepada penguasa agar mendapat perhatian.
Seperti kisah Giyats bin Ibrahim An Nakh'I  Al Kufi dengan Amir Mukminin Al Mahdi, ketika masuk ke(ruangan  Amirul Mukminin) dan menjumpai Al Mahdi tengah bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:
لا سبق إلاّ في نصل أو خفّ أو حافر أو جناح
"Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap."  
Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan  untuk menyenangkan Al Mahdi, lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata:"Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah n .
Kemudian  Al Mahdi memerintahui untuk menyembelih burung merpati itu.
d.      Zindiq yang ingin merusak manusia dan agamanya.
Hamad bin Zaid  berkata:"Orang-orang zindiq membuat hadits dusta yang disandarkan kepada Rasulullah n sebanyak empat belas ribu hadits."
Ahmad bin Shalih Al Mishri berkata:"(Hukuman bagi) orang zindiq adalah dipenggal lehernya, orang-orang dungu itu telah membuat hadits maudhu' sebanyak empat ribu, maka berhati-hatilah."
Ketika akan dipenggal lehernya Ibnu Adi berkata:"Aku telah memalsukan hadits diantara kalian sebanyak empat ribu hadits, aku mengharamkan yang halal dan  menghalalkan yang haram." 
Diantara mereka adalah Muhammad bin Sa'id Asy Syami yang dihukum mati dan disalib karena kezindikannya. Ia meriwayatkan hadits dari Humaid  dari Anas secara Marfu': Aku adalah Nabi terakhir, dan tidak ada Nabi sesudahku kecuali yang Allah kehendaki.
e.       Mengikuti hawa nafsu dan ahli ra'yu yang tidak mempunyai dalil dari kitab dan sunah kemudian membuat hadits maudhu' untuk membenarkan hawa nafsu dan pendapatnya.
f.        Dalam rangka mencari penghidupan dan memperoleh rizki. Seperti yang dilakukan sebagian tukang dongeng yang mencari penghidupan melalui berbagai cerita  kepada masyarakat. Mereka menambah-nambahkan ceritanya agar masyarakat mau mendengar dongengannya, lalu mereka memberi upah. Diantara mereka adalah Abu Sa'id Al Madani.
g.       Dalam rangka meraih popularitas, yaitu dengan membuat hadits yang gharib(asing) yang tidak dijumpai pada seorangpun dari syaikh-syaikh hadits. Mereka membolak balik sanad hadits supaya orang yang mendengarnya terperangah. Diantara mereka adalah Ibnu Abu Dihyah dan Hammad bin An Nashibi.  
h.      Fanatisme terhadap Imam atau Negeri. Asy Syu'ubiyun memalsu hadits yang berbunyi:"Sesungguhnya Allah apabila murka menurunkan wahyu dengan menggunakan bahasa Arab, dan apabila ridha menurunkan wahyu dengan bahasa Persi (Al Farisiyah)." Maka seorang Arab yang jahil membaliknya, perkataan ini, yaitu, " Sesungguhnya Allah apabila murka menurunkan wahyu dengan menggunakan bahasa Persi (Al Farisiyah), dan apabila ridha menurunkan wahyu dengan bahasa Arab."
Dan orang yang ta'ashub(fanatik) terhadap Abu Hanifah, memalsu hadits, yang berbunyi:"Akan ada dari umatku seorang laki-laki yang disebut Abu Hanifah Al Nu'man, dia adalah penerang umatku."
Dan orang yang tidak senang dengan Imam Asy Syafi'I, membuat hadits yang berbunyi:" Akan ada dari umatku seorang laki-laki yang disebut Muhammad bin Idris, dia lebih bahaya atas umatku dari pada iblis."

H.   Ancaman Bagi yang Membuat Hadits Maudhu'.
Orang yang berdusta atas nama Rasulullah n  ancamannya sangat keras. Sebagaimana Nabi bersabda: "Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia bersia-siap menempati tempatnya  dineraka."
Hadits ini diriwayatkan secara mutawatir, yaitu diriwayatkan 70 orang shahabat.
Dalam riwayat Al Bukhari tidak terdapat ( متعمدا) atau dengan sengaja. Namun dalam riwayat Ibnu Hibban terdapat kata ( متعمدا) ini.  Adapun ( فليتبوّأ) adalah perintah yang juga berarti kabar(berita), ancaman, penghinaan atau do'a atas pelakunya. Yaitu semoga Allah menyiapkan untuknya (nereka). 
Syaikh Muhammad Abu Al Juwaini, berpendapat bahwa kafir bagi orang yang memalsu hadits Rasulullah n dengan sengaja dan mengetahui (hukum berkenan) dengan yang ia ada-adakan.
I.       Kitab-kitab yang Memuat Hadits Palsu.
1.      Al Madhu'at, karangan Ibnu Al Jauzi.
2.      Al La'ali Al  Mashnu'ah fi Al Ahadits Al Maudhu'ah, karaya As Suyuthi, ringkasan kitab diatas.
3.      Tanzihu Ay Syri'ah Al Marfu'ah 'an Al Ahadits Asy Syani'ah Al Maudhu'ah karya Ibnu 'Iraqi Al Kittani, ringkasan kedua kitab diatas.
4.      Silsilah Al Ahadits Ad Dha'ifah, karya Al Albani.

Maraji':
1.      Tabrib Ar Rawi fi Syarh Taqrib A Nawawi, Al Hafidz Al Imam As Suyuthi.
2.      Al Baa'its Al Hatsits, Syarh Ihtishaar 'Ulum Al Hadits Li  Al Hafidz Ibnu Katsir, Ahmad Muhammad Syakir.
3.      Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
4.      Tarikh At Tasyri'  Al Islami, Syaikh Manna' Al Qaththan.
5.      Pengantar Studi Ilmu Hadits, Syaikh Manna' Al Qaththan.
6.      Taisir Mushthalah Al Hadits, DR. Mahmud Ath Thahhan.

Habibi Ya Rasulullah...

Bulan Rabi’ul Awwal, masyarakat muslim familiar menyebut dengan istilah Bulan Maulid. Tepat tanggal 12 Rabi’ul Awwal, ‘Am Fiil atau Tahun Gajah, lahirlah Nabi pembawa petunjuk, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthallib, semoga shalawat dan keselamatan tercurah atas beliau dan keluarganya.

Momentum peringatan ini menggugah kita akan banyak hal yang perlu dikerjakan, ketika sebagian umat Islam lupa dengan sirah atau perikehidupan Rasulullah saw. “Semoga pengingat ini bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
Kalau kita cermati kondisi umat Islam dewasa ini secara umum, kita temukan realitas yang sangat memprihatinkan dalam banyak sisi kehidupan, sehingga umat Islam mendesak untuk kembali meneladani Rasul, melaksanakan syariah dan sunnahnya yang telah diturunkan oleh Ruhul Qudus, Malaikat Jibril as dari atas tujuh langit. Peristiwa itu digambarkan dalam syair Arab, “Pada malam gulita, terbitlah purnama benderang.”

Kita sangat membutuhkan keteladanan Rasulullah saw. Jumlah umat Islam lebih dari satu setengah milyar, namun kuantitas itu tidak memiliki kekuatan yang diperhitungkan di tengah ombang-ambing pihak Timur dan Barat. Di antara umat Islam ada yang masih dalam cenkraman dan penindasan penjajah. Gambaran ini direkam oleh Allah swt dalam firman-Nya,

”Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian).” (Q.S. At Taubah : 8).

Kami katakan dengan lantang kepada orang-orang yang menjadikan musuh sebagai teman dekat di manapun mereka berada. Kami katakan kepada mereka yang menjadikan musuh sebagai penolong, di waktu yang sama mereka meninggalkan orang-orang yang beriman. Kami katakan ini, ketika banyak umat Islam di Palestina, Iraq dan lainnya menghadapi boikot, pembunuhan dan penghancuran luar biasa. Mereka hidup di bawah moncong senjata, pemboman pesawat tempur, bolduser dan tank-tank penghancur.
Bagi saudara-saudara kita yang mendapat perlakuan tidak manusiawi ini, dengan simpati yang sangat mendalam kami bisikkan di telinga mereka,

”Kalian hendaknya meneladani Rasulullah saw, jika kalian mendapatkan perlakuan menyakitkan, kelaparan, boikot dalam segala hal, dan pembunuhan, maka ketahuilah bahwa Rasulullah saw, penghulu para Nabi dan pemimpin umat, pemimpin Arab atau non Arab, lebih dari tiga tahun mendapat beragam penyiksaan dari kaumnya, padahal beliau menghendaki kebaikan dan keselamatan mereka, fiddun wal akhirah. Lebih dari itu, kaum Quraisy memboikot beliau, baik sisi ekonomi, maupun social. Mereka memutuskan hubungan jual-beli dan transaksi lainnya, sampai beliau dan para sahabat memakan rerumputan, karena kelaparan, sehingga Allah swt memberi jalan keluar bagi mereka.”

Demikian, wahai saudaraku yang berada di Gaza, hendaknya kalian bersabar, sampai Allah swt membukakan pintu-pintu keselamatan dan kedamaian atas kalian dan terbebas dari kedzaliman Yahudi. Do’a dan dukungan kami menyertai kalian wahai saudaraku!
Momentum peringatan hari kelahiran Rasulullah saw. senantiasa hidup kekal dalam hati umat Islam. Kami merasakan sakit ketika melihat dan mendengar sampai saat ini masih adanya pelecehan dan penghinaan pribadi Rasul. Penistaan yang tidak pantas dialamatkan kepada beliau saw. Perilaku demikian menunjukkan bahwa mereka benar-benar tidak tahu sejarah hidup Muhammad. Meskipun tidak asing kalau para musuh dan non muslim berbuat demikian. Namun yang menyayat hati adalah, adanya sekelompok orang yang mengaku muslim, tapi mendukung penodaan ini, wal iyadzu billah.

Cara tepat mensikapi penodaan mereka adalah dengan berkomitmen terhadap petunjuk Nabi Muhammad saw., membela, menolong, baik dengan ucapan atau kerja nyata, dalam wujud menampilkan pribadi beliau yang agung, akhlak yang mulia, menjelaskan kepada mereka yang tidak tahu sebelumnya. Dengan upaya ini semoga Allah swt membukakan pintu hati mereka, dan berubah menuju cahaya Islam. Atau dengan cara diskusi ilmiyah bukan membalas dengan caci maki, menjelaskan hakekat kebenaran yang nyata, meyakinkan dengan menggunakan bahasa dan logika mereka.

Sebagai contoh, perhelatan besar berupa pameran ”Musium Nabi Islam” diselengarakan oleh pemerintahan Dubai. Dengan kegiatan ini menjadi salah satu cara menjawab tuduhan-tuduhan orang yang tidak bertanggungjawab itu.

Cara lain yang juga sangat efektif adalah dengan mengoptimalkan media massa, terutama internet. Dengan mengirim tulisan, makalah yang isinya menjelaskan hakekat kebenaran ini, dengan menggunakan bahasa dan logika mereka, dilandasi argumentasi dari wahyu maupun hadits Nabi, sirah perjalanan hidup Nabi, sejarah Islam, buku-buku fiqh dan yang mendukung lainnya.

Betapa banyak dari kalangan non muslim -setelah penodaan dan penistaan terhadap diri Rasul dan umat Islam secara umum- justeru tergelitik untuk mencari-cari dan menelaah agama Islam, mereka membaca dengan obyektif kepribadian Rasul dan misi penyelamatan beliau terhadap kemanusiaan. Banyak di antara mereka yang masuk Islam dan menjadi pembela sejati terhadap Nabi dan ajarannya. ”Washallallahu ’alaihi wasallama taslima.” Allahu a’lam

Senin, 07 Maret 2011

Letak Sesatnya Jamaah Ahmadiyah

I. Muqaddimah

Segala puji bagi Allah Subhânahu wa Ta’âla yang telah memelihara agama-Nya dari tipu daya dan makar orang-orang kafir dan semua musuh-musuh Islam, sehingga datanglah kebenaran dan lenyaplah kebatilan, karena sesungguhnya kebathilan itu pasti akan lenyap. Kemudian shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya ridhwânullahi ‘alaihim ajma’în dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman. Seorang muslim wajib menjaga agamanya dari berbagai macam bentuk pemikiran, pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam. Hal ini bertujuan untuk menjaga keutuhan dan kemurnian Islam yang dianutnya, karena tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan, sebagaimana firman Allah Subhânahu wa Ta’âla:
“Tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan”. (QS. Yunus: 32)
Tersebarnya berbagai aliran-aliran yang menyimpang dalam Islam yang berlabelkan Islam membuat resah masyarakat, sedangkan kebanyakan masyarakat tidak mengenal dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah disebabkan kekurangan ilmu dan ketidakmengertian mereka dengan Islam yang benar.
Salah satu aliran yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan, yang dihebohkan oleh semua media masa dan menjadi topik pembicaraan kaum muslimin baru-baru ini adalah Aliran Jamaah Ahmadiyah. Apakah Jamaah Ahmadiyah, dimanakah letak kesesatannya dan bagaimana fatwa-fatwa ulama tentang kesesatan aliran ini? Maka Insya Allah melalui tulisan yang singkat ini akan kita sibak dan bongkar kesesatan mereka. Mudah-mudahan dengan mengetahuinya kita bisa terhindar dan menjauhi kesesatan mereka.

I. Munculnya Jamaah Ahmadiyah.
Gerakan ahmadiyah ini didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India. Mirza lahir 15 Februari 1835 M, dan meninggal 26 Mei 1906 M di India. Ajaran ini masuk ke Indonesia tahun 1935 M, dimana sekarang ini telah mempunyai sekitar 200 lebih cabang, terutama Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Medan, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain. Pusat kegiatannya adalah di Parung Bogor, Jawa Barat, mempunyai gedung yang mewah, perumahan para pimpinan/pegawai diatas tanah seluas 15 ha. Terletak di pinggir jalan raya Jakarta – Bogor lewat Parung

II. Dimanakah Letak Kesesatan dan Penyimpangan Jamaah Ahmadiyah. ?
A. Kesesatan dan penyimpangan dalam Aqidah.
Adapun penyimpangannya dalam Aqidah adalah :
1. Jamaah ini mengakui bahwa adanya nabi terakhir yaitu nabi yang mereka akui bernama Mirza Ghulam Ahmad. Dia mengaku bahwa dirinya menerima wahyu yang turunnya di India, kemudian wahyu-wahyu tersebut dikumpulkan seluruhnya, sehingga menjadi sebuah kitab suci yang mereka beri nama Tazkirah.
2. Mereka mengakui bahwa kitab Tazkirah adalah kitab suci, yang sama sucinya dengan al-Qur’ân.
3. Membajak ayat-ayat al-Qur’ân, lalu mereka masukkan ke dalam kitab Tazkirah, hal ini dapat kita lihat pada bunyi kitab suci Tazkirahnya yang artinya: “Katakanlah, Wahai Mirza Ghulam Ahmad, jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku”(Kitab Suci Tazkirah, hal 637). Jelas ungkapan tersebut adalah bajakan yang dipenggalnya dari al-Qur’ân Surat Ali Imran ayat 31:
Katakanlah Hai (Muhammad): “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku (nabi)”. Dan pembajakan-pembajakan seperti ini banyak dia lakukan. Oleh karena itu bukankah ini merupakan kedustaan yang dibuat-buatnya dan mengada-ada atas nama Allah ‘Azza wa Jalla ?
4. Mereka memiliki khalifah sendiri dan sekarang ini adalah khalifah yang keempat, bermarkas di London – Inggris, bernama Thahir Ahmad, semua anggota Ahmadiyah di seluruh dunia wajib taat dan tunduk kepada perintahnya tanpa reserve kepada perintahnya.
5. Kewajiban berbaiat kepada pimpinan Qadiani. Di dalam baiat mereka disuruh membaca Syahadat, mengakui dosa-dosanya dan disuruh mengimani segala dakwaan Mirza Ghulam Ahmad, baik dia mengaku sebagai Nabi, Rasul, Imam Mahdi, Nabi Isa yang kedua dan apa saja dari bentuk pengakuannya.

B. Kesesatan Ahmadiyah dalam ibadah dan fiqh.
1. Tidak ada kewajiban haji ke Makkah, karena tempat suci mereka adalah Rabwah dan Qadiyan di India. Oleh karena itu dalam ceramah-ceramah yang dilakukan para muballighnya tidak pernah menyuruh pengikutnya naik haji ke Makkah, bahkan mereka mengatakan: “Alangkah celakanya orang-orang yang melarang dirinya bersenang-senang pada haji Akbar ke Qadiyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadiyan adalah haji yang kering lagi kasar” (pengakuan dari saksi hidup mantan da’i dan muballigh Ahmadiyah yang keluar dari Ahmadiyah, lihat Buku Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiani oleh Ahmad Hariadi)
2. Tidak ada kewajiban Zakat, karena menurut mereka iuran wajib yang telah mereka bayarkan tiap bulan kepada organisasi yaitu sebanyak seperenam belas dari gaji telah menyamai zakat dan Muballighnya tidak pernah menyuruh untuk membayarkan zakat.
3. Wanita Ahmadiyah haram menikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyah, tetapi laki-laki Ahmadiyah boleh kawin dengan perempuan yang bukan Ahmadiyah.
4. Tidak boleh bermakmum di belakang Imam yang bukan Ahmadiyah.
5. Ahmadiyah mempunyai tanggal, bulan, dan tahun sendiri yaitu nama bulan: (1) Suluh, (2) tabligh, (3) Aman, (4) Syahadah, (5) Hijrah, (6) Ikhsan, (7) Wafa’, (8) Zuhur, (9) Tabuk, (10) Ikha, (11) Nubuwah, (12) Alfathah. Sedangkan nama tahun mereka adalah Hijri Syamsyi (disingkat H.S)

C. Kesesatan Ahmadiyah Dalam Bidang Manhaj
1. Pemahaman mereka tidaklah merujuk kepada para ulama terdahulu dari kalangan para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in, para imam-imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, tetapi pemahaman mereka merujuk kepada apa yang dipahami oleh Mirza Ghulam Ahmad.
2. Tidak adanya mereka belajar hadits, fiqh dan jauhnya mereka dari ilmu Syar’i. Dalam da’wah mereka objek pembicaraan mereka adalah terfokus kepada tiga hal pokok yaitu: tentang mati-hidupnya Nabi Isa ‘alaihissalam, masalah-masalah yang berhubungan dengan kenabian dan masalah Imam Mahdi.
3. Penyimpangan Ahmadiyah Merupakan Hal yang Paling Mendasar Dalam Islam.
Sesungguhnya penyimpangan yang dilakukan Jamaah Ahmadiyah adalah sesuatu yang sudah diketahui hukumnya secara pasti oleh masyarakat luas yang dikenal dalam istilah fiqih ma yu’lamu minaddin Biddharurah. Oleh karena itu kita tidak membahas secara detil dalil-dalil yang menunjukkan kesesatannya, karena kesesatannya terlihat jelas pada hal-hal yang mendasar dalam agama Islam yang diketahui secara pasti hukumnya oleh masyarakat muslim, seperti pengakuan mereka adanya Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kitab suci yang mereka amalkan, pembajakan ayat-ayat al-Qur’ân dan melencengnya pemahaman mereka dalam ibadah haji, zakat dan dalam menikah serta hal-hal lainnya. Adapun hal-hal tersebut hukumnya sudah jelas dalam Islam, dan kafirnya orang yang meyakini hal-hal yang demikian.
4. Fatwa-fatwa dan Rekomendasi Penyimpangan serta Kesesatan Ahmadiyah.
a. Komisi Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia.
Ketika Komisi ini ditanya tentang hukum Jamaah Qadiyaniyah dalam tinjauan Islam dan Mirza Ghulam Ahmad yang mereka dakwakan sebagai Nabinya? Maka dalam hal ini komisi ini menjawab: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan nabi terakhir, maka tidak ada nabi sesudahnya, karena berdasarkan al-Qur’ân dan as-Sunnah. Oleh karena itu barang siapa yang mendakwakan ada nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah seorang yang sangat pendusta, diantara mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad. Dakwaan dirinya sebagai nabi merupakan hal yang sangat dusta, dan Majelis Kibar Ulama Saudi Arabia telah menetapkan bahwa Islam Jamaah (Qadhiyaniyah) telah kafir disebabkan dakwaan tersebut. (Fatwa No. 4317)
b. Sikap Negara-Negara Islam dan Organisasi Internasional Terhadap Ahmadiyah diantaranya:
1) Malaysia telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Malaysia sejak tanggal 18 juni 1975.
2) Brunei Darussalam juga telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh negara Brunei Darussalam.
3) Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah kafir dan tidak boleh pergi haji ke Makkah.
4) Pemerintah Pakistan telah mengeluarkan keputusan bahwa aliran Ahmadiyah adalah aliran yang telah keluar dari Islam.
5) Rabithah Alam Islami yang berkedudukan di Makkah juga telah mengeluarkan keputusan sejak tahun 1394 H.
6) Keputusan Majma’ al-fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) No. 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabiul-tsâni 1406 H/22-28 Desember 1985 M, yang menyatakan murtadnya orang yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka telah mengingkari ajaran Islam yang Qath’I yang telah disepakati para ulama.
c. Fatwa Majelis ulama Indonesia pada Musyawarah Nasional VII tahun 2005 yang ditetapkan tanggal 29 Juli 2005 M diantara keputusannya: “bahwa aliran ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)“.
d. Keputusan dari Forum Ukhuwah Islamiyah Indonesia Tentang Pelarangan Secara Nasional Terhadap Ahmadiyah di Indonesia Tanggal 17 September 1994. Forum ini terdiri dari: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Syarikat Islam (Si), Iitihadul Muballighin, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), al-Irsyad al-Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI)
e. Hasil Rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem) Tanggal 16 April 2008 Tentang Menyimpangnya Jamaah Ahmadiyah.

III. Penutup
Dari fatwa-fatwa dan rekomendasi-rekomendasi yang ada maka tidak ada alasan lagi bagi seorang muslim untuk membela jamaah ini dan mempertahankannya, apalagi masuk ke dalam jamaah ini. Oleh karena itu, apapun keputusan yang akan diambil pemerintah jelas tidak akan merubah kesesatan dan kebathilan Jamaah Ahmadiyah, namun kita sangat berharap kepada Pemerintah Indonesia yang mayoritas kaum muslimin untuk melarang dan membubarkan aliran ini di Indonesia, dan menyuruh untuk bertaubatnya orang-orang yang telah masuk kepada jamaah ini.
Wallahu a’lam